Selasa, 26 Januari 2016

Definisi Kyai

kartun_bacaKyai adalah orang yang memiliki ilmu agama (Islam) plus amal dan akhlak yang sesuai dengan ilmunya.[1] Menurut Saiful Akhyar Lubis, menyatakan bahwa “Kyai adalah tokoh sentral dalam suatu pondok pesantren, maju mundurnya pondok pesantren ditentukan oleh wibawa dan kharisma sang kyai. Karena itu, tidak jarang terjadi, apabila sang kyai di salah satu pondok pesantren wafat, maka pamor pondok pesantren tersebut merosot karena kyai yang menggantikannya tidak sepopuler kyai yang telah wafat itu”.[2]

Menurut Abdullah ibn Abbas, kyai adalah orang-orang yang mengetahui bahwa Allah SWT adalah Dzat yang berkuasa atas segala sesuatu.[3] Menurut Mustafa al-Maraghi, kyai adalah orang-orang yang mengetahui kekuasaan dan keagungan Allah SWT sehingga mereka takut melakukan perbuatan maksiat. Menurut Sayyid Quthb mengartikan bahwa kyai adalah orangorang yang memikirkan dan menghayati ayat-ayat Allah yang mengagumkan sehingga mereka dapat mencapai ma’rifatullah secara hakiki.

Menurut Nurhayati Djamas mengatakan bahwa “kyai adalah sebutan untuk tokoh ulama atau tokoh yang memimpin pondok pesantren".[4] Sebutan kyai sangat popular digunakan di kalangan komunitas santri. Kyai merupakan elemen sentral dalam kehidupan pesantren, tidak saja karena kyai yang menjadi penyangga utama kelangsungan sistem pendidikan di pesantren, tetapi juga karena sosok kyai merupakan cerminan dari nilai yang hidup di lingkungan komunitas santri. Kedudukan dan pengaruh kyai terletak pada keutamaan yang dimiliki pribadi kyai, yaitu penguasaan dan kedalaman ilmu agama; kesalehan yang tercermin dalam sikap dan perilakunya sehari-hari yang sekaligus mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan menjadi ciri dari pesantren seperti ikhlas, tawadhu, dan orientasi kepada kehidupan ukhrowi untuk mencapai riyadhah.

Menurut Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya An-Nashaihud Diniyah mengemukakan sejumlah kriteria atau ciri-ciri kyai di antaranya ialah:

Dia takut kepada Allah, bersikap zuhud pada dunia, merasa cukup (qana’ah) dengan rezeki yang sedikit dan menyedekahkan harta yang berlebih dari kebutuhan dirinya. Kepada masyarakat dia suka memberi nasehat, ber amar ma’ruf nahi munkar dan menyayangi mereka serta suka membimbing ke arah kebaikan dan mengajak pada hidayah. Kepada mereka ia juga bersikap tawadhu, berlapang dada dan tidak tamak pada apa yang ada pada mereka serta tidak mendahulukan orang kaya dari pada yang miskin. Dia sendiri selalu bergegas melakukan ibadah, tidak kasar sikapnya, hatinya tidak keras dan akhlaknya baik.[5]

Menurut Munawar Fuad Noeh menyebutkan ciri-ciri kyai diantaranya yaitu:

  1. Tekun beribadah, yang wajib dan yang sunnah.
  2. Zuhud, melepaskan diri dari ukuran dan kepentingan materi duniawi.
  3. Memiliki ilmu akhirat, ilmu agama dalam kadar yang cukup.
  4. Mengerti kemaslahatan masyarakat, peka terhadap kepentingan umum.
  5. Dan mengabdikan seluruh ilmunya untuk Allah Swt, niat yang benar dalam berilmu dan beramal.[6]

Menurut Imam Ghazali membagi ciri-ciri seorang Kyai diantaranya yaitu :

  1. Tidak mencari kemegahan dunia dengan menjual ilmunya dan tidak memperdagangkan ilmunya untuk kepentingan dunia. Perilakunya sejalan dengan ucapannya dan tidak menyuruh orang berbuat kebaikan sebelum ia mengamalkannya.
  2. Mengajarkan ilmunya untuk kepentingan akhirat, senantiasa dalam mendalami ilmu pengetahuan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT, dan menjauhi segala perdebatan yang sia-sia.
  3. Mengejar kehidupan akhirat dengan mengamalkan ilmunya dan menunaikan berbagai ibadah.
  4. Menjauhi godaan penguasa jahat.
  5. Tidak cepat mengeluarkan fatwa sebelum ia menemukan dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
  6. Senang kepada setiap ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Cinta kepada musyahadah (ilmu untuk menyingkap kebesaran Allah SWT), muraqabah (ilmu untuk mencintai perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya), dan optimis terhadap rahmatNya.
  7. Berusaha sekuat-kuatnya mencapai tingkat haqqul-yaqin.
  8. Senantiasa khasyyah kepada Allah, takzim atas segala kebesaran-Nya, tawadhu’, hidup sederhana, dan berakhlak mulia terhadap Allah maupun sesamanya.
  9. Menjauhi ilmu yang dapat membatalkan amal dan kesucian hatinya.[7]

[1] Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS, Menghidupkan Ruh Pemikiran KH. Ahmad Siddiq, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 101.

[2] Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islami Kyai dan Pesantren, (Yogyakarta, ELSAQ Press,2007), hal. 169

[3] Hamdan Rasyid, Bimbingan Ulama; Kepada Umara dan Umat (Jakarta: Pustaka Beta, 2007), hal. 18.

[4] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca kemerdekaan (Jakarta : PT RajaGrafinda Persada, 2008), hal. 55.

[5] A. Mustofa Bisri, Percik-percik Keteladanan Kyai Hamid Ahmad Pasuruan (Rembang : Lembaga Informasi dan Studi Islam (L‟Islam) Yayasan Ma‟had as-Salafiyah. 2003), hal. Xxvi.

[6] Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS, Menghidupkan Ruh Pemikiran KH. Ahmad Siddiq, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 102.

[7] Badruddin Hsubky, Dilema ulama dalam perubahan zaman Gema Insani Pers 1995, hal 57.

1 komentar:

  1. Setelah sekian lma ngeblog segan, mati tak hendak, akhirnya iseng berkunjung ke blog2 kawan lama. Smpe lupa ini kg hardjo yg mna. Lol..

    #sedangmngumpulingatan

    BalasHapus

Terimakasih Atas Kunjungannya dan silahkan tinggalkan komentar...!!! :)
mohon untuk tidak meninggalkan link aktif....!!